Ingat sosok Harun dalam kisah Laskar Pelangi? Dialah murid
kesepuluh yang menyelamatkan sekolah anak-anak Laskar Pelangi dari
penutupan dinas pendidikan karena kekurangan murid. Sepuluh anak adalah
jumlah minimal murid yang ditetapkan.
Harun tak hanya menjadi istimewa karena perannya sebagai penyelamat,
namun juga karena kondisi keterbatasan dirinya. Kecerdasannya di bawah
rata-rata. Tapi Muslimah, sang ibu guru yang penyayang, tetap
mengikutsertakannya dalam kegiatan kelas bersama anak-anak normal
lainnya, walau kemudian rapor untuknya dibuatkan khusus.
Harun adalah sosok anak berkebutuhan khusus (ABK) yang berupaya
mendapat pendidikan sebagaimana anak-anak normal lainnya. Dia cukup
beruntung mendapatkan itu karena perhatian orang-orang di sekitarnya.
Anak Berkebutuhan Khusus
Dalam khasanah pendidikan luar biasa (PLB), dikenal istilah exceptional children
atau anak luar biasa. “Nah yang luar biasa itu kan bisa berarti ke
atas, bisa berarti ke bawah. Kalau yang ke bawah itu biasa disebut anak handicap (penyandang cacat – red), sementara kalau yang ke atas tak pernah disebut handicap. Itulah konsep anak luar biasa atau anak berkelainan,” terang DR Asep Supena, M.Psi, Ketua Jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) Universitas Negeri Jakarta.
Dalam perkembangannya istilah ini kemudian berubah. Anak-anak
berkelainan ini kemudian disebut sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).
Jadi yang dilihat bukan lagi kelainannya, tetapi kebutuhannya terhadap
layanan yang khusus.
Anak-anak berkebutuhan khusus ini memiliki berbagai kelainan dan
hambatan dalam dirinya. Jenis-jenis hambatan dan kelainan pada anak-anak
berkebutuhan khusus ini, antara lain hambatan pada penglihatan yang
disebut tunanetra, pada pendengaran yang disebut tunarungu, hambatan
pada kecerdasan yang disebut tunagrahita, hambatan atau gangguan pada
emosi dan perilaku atau tunalaras, gangguan pada gerak atau tunadaksa.
Termasuk pula kelainan pada ABK, yaitu autistik, hiperaktif (ADHD).
Anak-anak dengan gangguan kesulitan belajar juga tergolong ABK yang
membutuhkan layanan pendidikan khusus. “Jadi banyak ragam kondisi atau
hambatan yang dialami seorang anak yang menyebabkan ia membutuhkan
layanan pendidikan khusus,” ujar Asep yang meraih gelar doktor di bidang
psikologi dari Universitas Indonesia ini.
Lalu layanan pendidikan khusus seperti apa yang diperuntukkan bagi
ABK? Pendidikan untuk ABK, jelas Asep, terus berkembang sejak abad
pertengahan. Sebelum masa itu bisa jadi ABK ini diabaikan begitu saja
oleh orangtua mereka karena dianggap tak bisa memberi sumbangsih apa pun
untuk keluarga mereka, apalagi untuk negara.
Mulai abad pertengahan itulah, sekitar abad ke-17 atau ke-18, proses
untuk pendidikan ABK mulai diperhatikan. Saat itu mereka dididik secara
khusus, terpisah dari anak-anak normal. Sistem ini kemudian disebut
sebagai pendidikan segregatif atau terpisah. “Untuk anak tunanetra, ya pendidikan untuk tunanetra, tunarungu ya tunarungu saja,” kata DR Asep.
Konsep segregatif ini masih terus dipakai oleh sebagian masyarakat
sampai sekarang. Pendirian sekolah luar biasa (SLB) yang berkategori A,
B, C untuk kelainan masing-masing ABK adalah contoh penerapan konsep
segregatif.
Keterpisahan ABK dengan kehidupan normal seperti ini mendorong para
ahli pendidikan untuk membuat metode baru yang tidak memisahkan ABK
dengan lingkungan normal. Bagaimanapun ABK tidak hidup melulu dalam
lingkungan ABK lainnya. Mereka hidup dalam masyarakat dan lingkungannya
yang terbangun dengan berbagai kemajemukannya. Maka digagaslah konsep
pendidikan mainstreaming yang mulai muncul tahun ’60-an dan
berkembang tahun ’70-an, terutama di negara-negara Skandinavia, seperti
Swedia, Denmark dan Norwegia. Indonesia pun lalu menggunakan konsep ini.
“Waktu itu di Indonesia ada yang disebut dengan sekolah terpadu. Di
sekolah terpadu itu sudah mulai ada penggabungan antara ABK dengan
anak-anak normal untuk ikut pendidikan di sekolah umum,” jelas Asep.
Konsep mainstreaming ini ternyata berkembang terus, hingga
terbentuklah gagasan mutakhir tentang pendidikan inklusif. Boleh
dibilang gagasan pendidikan inklusif merupakan perwujudan yang lebih
spesifik dari konsep mainstreaming tadi.
Dalam pendidikan inklusif semua anak dari berbagai kondisi bisa ikut
pendidikan secara bersama-sama dalam satu lingkungan. “Artinya dalam
satu sekolah, anak dari berbagai agama, berbagai suku bangsa, berbagai
bahasa dan berbagai kemampuan, termasuk kondisi dia, apakah tunanetra,
tunarungu, tunagrahita, pokoknya bisa ikut gabung bersama-sama,” gambar
Asep tentang pendidikan inklusif. Dorongan untuk bisa gabung itu sangat
kental dalam pendidikan inklusif, lanjut ayah 3 anak ini.
Paling tidak ada tiga ciri penting pendidikan inklusif, terang Asep. Yang pertama, ABK bisa mengikuti pendidikan secara bersama-sama dengan anak lain. Kedua, mereka mendapatkan pendidikan yang bagus dan bermutu, dan yang ketiga,
mereka juga mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan
kemampuannya. “Kalau sebelumnya ABK yang ikut di sekolah umum harus
mengikuti kurikulum yang ada di sana, maka dalam pendidikan inklusif
justru sistem yang harus menyesuaikan dengan kemampuan atau kebutuhan
ABK,” tambahnya.
Sekolah inklusif dan tantangannya
Di negara maju, seperti Amerika, dan negara-negara Skandinavia kini
ABK bisa bersekolah umum di mana saja, tak perlu ke SLB. Mereka bisa
bersekolah di sekolah yang terdekat dengan kediaman mereka. Peluang
mereka mendapat pendidikan sama dengan peluang anak-anak normal. Itulah
sebenarnya “jiwa” dari pendidikan inklusif.
Di Indonesia sendiri, kata Asep, pemerintah secara bertahap terus
menambah jumlah sekolah inklusif dari tingkat TK sampai SMA. Pemerintah
daerah menunjuk dan menugasi sekolah-sekolah reguler tertentu untuk
menerima ABK. Di Jakarta, setidaknya ada 50 sekolah umum dan kejuruan
yang sudah inklusif, sementara di Jawa Barat ada sekitar 186 sekolah
inklusif dari berbagai tingkatan. Di daerah-daerah lain pun sudah
bermunculan sekolah-sekolah inklusif hingga ABK semakin mudah
mendapatkan pendidikan.
Tantangan terberat bagi pemerintah dan pendidikan luar biasa dalam
pendidikan inklusif ini adalah ketersediaan guru-guru pembimbing ABK
ini. “Dari sisi SDM, secara umum, saya kira belum siap betul. Karena
guru-guru umum dengan background pendidikannya, tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan yang memadai untuk memberikan layanan pendidikan untuk ABK,” urai Asep.
Idealnya memang, lanjutnya, di suatu sekolah inklusif paling tidak
ada satu guru dengan kualifikasi pendidikan luar biasa. Guru pembimbing
khusus (GPK) inilah yang berfungsi untuk membantu guru-guru yang ada di
situ dalam memberikan layanan pendidikan untuk ABK. Sepanjang
pengetahuannya belum banyak guru dari pendidikan luar biasa–terutama
dari Universitas Negeri Jakarta–yang ditempatkan di sekolah-sekolah
inklusif di Jakarta. Boleh dibilang selama ini hanya guru-guru umum yang
menangani ABK.
Walau bergabung dengan anak-anak normal, ABK mau tak mau tetap harus
dilayani secara khusus. Misalnya saja, anak dengan kecerdasan di bawah
rata-rata tentu pemberian materinya berbeda dengan anak lainnya. Kalau
yang lain sudah masuk materi perkalian, anak ini mungkin masih
mempelajari materi penjumlahan dengan bantuan alat peraga dan
sejenisnya. Dengan perlakuan khusus ini waktu belajar ABK akan lebih
panjang dibanding anak lain. Inilah tantangan bagi guru-guru umum di
sekolah inklusif.
Orangtua ABK sendiri perlu mencari informasi sekolah reguler mana
saja yang sudah ditunjuk menjadi sekolah inklusif oleh pemerintah daerah
setempat. Hingga ABK tak akan ditolak bila ingin mendaftar di sekolah
itu.
Kendala biaya kadang menjadikan orangtua ABK tak mampu memberikan
pendidikan untuk anaknya. Bagi yang mampu memang mudah saja memasukkan
ABK ke SLB swasta dengan fasilitas lengkap atau bahkan mendatangkan guru
dan terapis ke rumah untuk menangani anak mereka. Inilah yang kemudian
harus menjadi perhatian banyak pihak, terutama pemerintah.
Penerimaan orangtua
Kemajuan seorang ABK amat tergantung pada perhatian orangtua. Tak
akan pernah ada orangtua yang ingin anaknya lahir cacat, namun bila ini
terjadi orangtua mesti menerimanya dengan keluasan hati. Inilah yang
menurut Asep paling sulit dilakukan oleh orangtua, yaitu penerimaan
terhadap kondisi anaknya yang lahir dengan kelainan atau hambatan.
Bila kemudian orangtua sudah menerima kondisi anak yang demikian,
maka yang perlu ditumbuhkan kemudian adalah sikap positif orangtua bahwa
anak ini bisa berkembang dan punya kehidupan yang lebih baik.
Sesungguhnya banyak kisah kesuksesan para penyandang cacat yang bisa
menjadi motivasi bagi para orangtua. Begitu banyak potensi yang dimiliki
ABK yang bila digali ternyata begitu luar biasa, bahkan melampaui
mereka yang normal.
Sikap positif dan keyakinan akan perkembangan anak ini membuat
orangtua lebih mudah dan ringan mencarikan pendidikan terbaik untuk
anaknya. Orangtua dengan sikap positif ini pula yang memudahkan
komunikasi dengan para guru ABK–di mana pun ABK bersekolah–hingga
terjadi sinkronisasi antara pendidikan di rumah dan di sekolah.
Sikap yang juga mesti dimiliki orangtua ABK adalah perlakuan yang wajar dan realistis terhadap ABK. “Orangtua jangan over protective,
terlalu melindungi. Mungkin karena anaknya ABK, orangtua jadi
berlebihan dalam melayani si anak, karena perasaan kasihan atau takut
kenapa-kenapa,” kata Asep. Sikap seperti ini akan menghambat kemandirian
anak, sekaligus menghambat perkembangan sosialnya.
Jadi, yang terbaik adalah bimbing dan berikan kesempatan ABK untuk
bisa mandiri. Kalau pun kegiatan itu berisiko, bisa jadi pada awalnya
saja. Setelah terbiasa, tak akan berisiko lagi. Misalnya bepergian
keluar rumah atau ke sekolah. Awalnya orangtua harus mengorientasikan
hal ini, membantu beberapa kali. Untuk seterusnya ABK akan bisa mandiri
dan tak terlalu tergantung lagi pada lingkungannya.
ABK memang dilahirkan tak sempurna. Namun kehidupan dan masa depannya
bisa jadi lebih baik dari anak normal lainnya dengan bekal pendidikan
yang baik dan perhatian tulus orang-orang di sekitarnya.
0 komentar:
Posting Komentar