Sabtu, 12 Oktober 2013

Menyiapkan Masa Depan Anak Berkebutuhan Khusus

Ingat sosok Harun dalam kisah Laskar Pelangi? Dialah murid kesepuluh  yang menyelamatkan sekolah anak-anak Laskar Pelangi dari penutupan dinas pendidikan karena kekurangan murid. Sepuluh anak adalah jumlah minimal murid yang ditetapkan.
Harun tak hanya menjadi istimewa karena perannya sebagai penyelamat, namun juga karena kondisi keterbatasan dirinya. Kecerdasannya di bawah rata-rata. Tapi Muslimah, sang ibu guru yang penyayang, tetap mengikutsertakannya dalam kegiatan kelas bersama anak-anak normal lainnya, walau kemudian rapor untuknya dibuatkan khusus.
Harun adalah sosok anak berkebutuhan khusus (ABK) yang berupaya mendapat pendidikan sebagaimana anak-anak normal lainnya. Dia cukup beruntung mendapatkan itu karena perhatian orang-orang di sekitarnya.

Anak Berkebutuhan Khusus
Dalam khasanah pendidikan luar biasa (PLB), dikenal istilah exceptional children atau anak luar biasa. “Nah yang luar biasa itu kan bisa berarti ke atas, bisa berarti ke bawah. Kalau yang ke bawah itu biasa disebut anak handicap (penyandang cacat – red), sementara kalau yang ke atas tak pernah disebut handicap. Itulah konsep anak luar biasa atau anak berkelainan,” terang DR Asep Supena, M.Psi, Ketua Jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) Universitas Negeri Jakarta.
Dalam perkembangannya istilah ini kemudian berubah. Anak-anak berkelainan ini kemudian disebut sebagai Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Jadi yang dilihat bukan lagi kelainannya, tetapi kebutuhannya terhadap layanan yang khusus.
Anak-anak berkebutuhan khusus ini memiliki berbagai kelainan dan hambatan dalam dirinya. Jenis-jenis hambatan dan kelainan pada anak-anak berkebutuhan khusus ini, antara lain hambatan pada penglihatan yang disebut tunanetra, pada pendengaran yang disebut tunarungu, hambatan pada kecerdasan yang disebut tunagrahita, hambatan atau gangguan pada emosi dan perilaku atau tunalaras, gangguan pada gerak atau tunadaksa.
Termasuk pula kelainan pada ABK, yaitu autistik, hiperaktif (ADHD). Anak-anak dengan gangguan kesulitan belajar juga tergolong ABK yang membutuhkan layanan pendidikan khusus. “Jadi banyak ragam kondisi atau hambatan yang dialami seorang anak yang menyebabkan ia membutuhkan layanan pendidikan khusus,” ujar Asep yang meraih gelar doktor di bidang psikologi dari Universitas Indonesia ini.
Lalu layanan pendidikan khusus seperti apa yang diperuntukkan bagi ABK? Pendidikan untuk ABK, jelas Asep, terus berkembang sejak abad pertengahan. Sebelum masa itu bisa jadi ABK ini diabaikan begitu saja oleh orangtua mereka karena dianggap tak bisa memberi sumbangsih apa pun untuk keluarga mereka, apalagi untuk negara.
Mulai abad pertengahan itulah, sekitar abad ke-17 atau ke-18, proses untuk pendidikan ABK mulai diperhatikan. Saat itu mereka dididik secara khusus, terpisah dari anak-anak normal. Sistem ini kemudian disebut sebagai pendidikan segregatif atau terpisah. “Untuk anak tunanetra, ya pendidikan untuk tunanetra, tunarungu ya tunarungu saja,” kata DR Asep.
Konsep segregatif ini masih terus dipakai oleh sebagian masyarakat  sampai sekarang. Pendirian sekolah luar biasa (SLB) yang berkategori A, B, C untuk kelainan masing-masing ABK adalah contoh penerapan konsep segregatif.
Keterpisahan ABK dengan kehidupan normal seperti ini mendorong para ahli pendidikan untuk membuat metode baru yang tidak memisahkan ABK dengan lingkungan normal. Bagaimanapun ABK tidak hidup melulu dalam lingkungan ABK lainnya. Mereka hidup dalam masyarakat dan lingkungannya yang terbangun dengan berbagai kemajemukannya. Maka digagaslah konsep pendidikan mainstreaming yang mulai muncul tahun ’60-an dan berkembang tahun ’70-an, terutama di negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Denmark dan Norwegia. Indonesia pun lalu menggunakan konsep ini. “Waktu itu di Indonesia ada yang disebut dengan sekolah terpadu. Di sekolah terpadu itu sudah mulai ada penggabungan antara ABK dengan anak-anak normal untuk ikut pendidikan di sekolah umum,” jelas Asep.
Konsep mainstreaming ini ternyata berkembang terus, hingga terbentuklah gagasan mutakhir tentang pendidikan inklusif. Boleh dibilang gagasan pendidikan inklusif merupakan perwujudan yang lebih spesifik dari  konsep mainstreaming tadi.
Dalam pendidikan inklusif semua anak dari berbagai kondisi bisa ikut pendidikan secara bersama-sama dalam satu lingkungan. “Artinya dalam satu sekolah, anak dari berbagai agama, berbagai suku bangsa, berbagai bahasa dan berbagai kemampuan, termasuk kondisi dia, apakah tunanetra, tunarungu, tunagrahita, pokoknya bisa ikut gabung bersama-sama,” gambar Asep tentang pendidikan inklusif. Dorongan untuk bisa gabung itu sangat kental dalam pendidikan inklusif, lanjut ayah 3 anak ini.
Paling tidak ada tiga ciri penting pendidikan inklusif, terang Asep. Yang pertama, ABK bisa mengikuti pendidikan secara bersama-sama dengan anak lain. Kedua, mereka mendapatkan pendidikan yang bagus dan bermutu, dan yang ketiga, mereka juga mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan kemampuannya. “Kalau sebelumnya ABK yang ikut di sekolah umum harus mengikuti kurikulum yang ada di sana, maka dalam pendidikan inklusif justru sistem yang harus menyesuaikan dengan kemampuan atau kebutuhan ABK,” tambahnya.

Sekolah inklusif dan tantangannya
Di negara maju, seperti Amerika, dan negara-negara Skandinavia kini ABK bisa bersekolah umum di mana saja, tak perlu ke SLB. Mereka bisa bersekolah di sekolah yang terdekat dengan kediaman mereka. Peluang mereka mendapat pendidikan sama dengan peluang anak-anak normal. Itulah sebenarnya “jiwa” dari pendidikan inklusif.
Di Indonesia sendiri, kata Asep, pemerintah secara bertahap terus menambah jumlah sekolah inklusif dari tingkat TK sampai SMA. Pemerintah daerah menunjuk dan menugasi sekolah-sekolah reguler tertentu untuk menerima ABK. Di Jakarta, setidaknya ada 50 sekolah umum dan kejuruan yang sudah inklusif, sementara di Jawa Barat ada sekitar 186 sekolah inklusif dari berbagai tingkatan. Di daerah-daerah lain pun sudah bermunculan sekolah-sekolah inklusif hingga ABK semakin mudah mendapatkan pendidikan.
Tantangan terberat bagi pemerintah dan pendidikan luar biasa dalam pendidikan inklusif ini adalah ketersediaan guru-guru pembimbing ABK ini. “Dari sisi SDM, secara umum, saya kira belum siap betul. Karena guru-guru umum dengan background pendidikannya, tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan yang memadai untuk memberikan layanan pendidikan untuk ABK,” urai Asep.
Idealnya memang, lanjutnya, di suatu sekolah inklusif paling tidak ada satu guru dengan kualifikasi pendidikan luar biasa. Guru pembimbing khusus (GPK) inilah yang berfungsi untuk membantu guru-guru yang ada di situ dalam memberikan layanan pendidikan untuk ABK. Sepanjang pengetahuannya belum banyak guru dari pendidikan luar biasa–terutama dari Universitas Negeri Jakarta–yang ditempatkan di sekolah-sekolah inklusif di Jakarta. Boleh dibilang selama ini hanya guru-guru umum yang menangani ABK.
Walau bergabung dengan anak-anak normal, ABK mau tak mau tetap harus dilayani secara khusus. Misalnya saja, anak dengan kecerdasan di bawah rata-rata tentu pemberian materinya berbeda dengan anak lainnya. Kalau yang lain sudah masuk materi perkalian, anak ini mungkin masih mempelajari materi penjumlahan dengan bantuan alat peraga dan sejenisnya. Dengan perlakuan khusus ini waktu belajar ABK akan lebih panjang dibanding anak lain. Inilah tantangan bagi guru-guru umum di sekolah inklusif.
Orangtua ABK sendiri perlu mencari informasi sekolah reguler mana saja yang sudah ditunjuk menjadi sekolah inklusif oleh pemerintah daerah setempat. Hingga ABK tak akan ditolak bila ingin mendaftar di sekolah itu.
Kendala biaya kadang menjadikan orangtua ABK tak mampu memberikan pendidikan untuk anaknya. Bagi yang mampu memang mudah saja memasukkan ABK ke SLB swasta dengan fasilitas lengkap atau bahkan mendatangkan guru dan terapis ke rumah untuk menangani anak mereka. Inilah yang kemudian harus menjadi perhatian banyak pihak, terutama pemerintah.

Penerimaan orangtua
Kemajuan seorang ABK amat tergantung pada perhatian orangtua. Tak akan pernah ada orangtua yang ingin anaknya lahir cacat, namun bila ini terjadi orangtua mesti menerimanya dengan keluasan hati. Inilah yang menurut Asep paling sulit dilakukan oleh orangtua, yaitu penerimaan terhadap kondisi anaknya yang lahir dengan kelainan atau hambatan.
Bila kemudian orangtua sudah menerima kondisi anak yang demikian, maka yang perlu ditumbuhkan kemudian adalah sikap positif orangtua bahwa anak ini bisa berkembang dan punya kehidupan yang lebih baik. Sesungguhnya banyak kisah kesuksesan para penyandang cacat yang bisa menjadi motivasi bagi para orangtua. Begitu banyak potensi yang dimiliki ABK yang bila digali ternyata begitu luar biasa, bahkan melampaui mereka yang normal.
Sikap positif dan keyakinan akan perkembangan anak ini membuat orangtua lebih mudah dan ringan mencarikan pendidikan terbaik untuk anaknya. Orangtua dengan sikap positif ini pula yang memudahkan komunikasi dengan para guru ABK–di mana pun ABK bersekolah–hingga terjadi sinkronisasi antara pendidikan di rumah dan di sekolah.
Sikap yang juga mesti dimiliki orangtua ABK adalah perlakuan yang wajar dan realistis terhadap ABK. “Orangtua jangan over protective, terlalu melindungi. Mungkin karena anaknya ABK, orangtua jadi berlebihan dalam melayani si anak, karena perasaan kasihan atau takut kenapa-kenapa,” kata Asep. Sikap seperti ini akan menghambat kemandirian anak, sekaligus menghambat perkembangan sosialnya.
Jadi, yang terbaik adalah bimbing dan berikan kesempatan ABK untuk bisa mandiri. Kalau pun kegiatan itu berisiko, bisa jadi pada awalnya saja. Setelah terbiasa, tak akan berisiko lagi. Misalnya bepergian keluar rumah atau ke sekolah. Awalnya orangtua harus mengorientasikan hal ini, membantu beberapa kali. Untuk seterusnya ABK akan bisa mandiri dan tak terlalu tergantung lagi pada lingkungannya.
ABK memang dilahirkan tak sempurna. Namun kehidupan dan masa depannya bisa jadi lebih baik dari anak normal lainnya dengan bekal pendidikan yang baik dan perhatian tulus orang-orang di sekitarnya.

0 komentar:

Posting Komentar